Semalam
dingin mengusik tidurku, bahkan tetesan hujan terdengar seperti langkah kaki.
Sejak kau pergi dengan angkuh meninggalkan harapan yang kau tumbuhkan dalam
lubuk hatiku. Aku bagaikan sebuah perahu tanpa awak, terombang-ambing di amuk
badai. Gemuruh Guntur dan halilintar yang terdengar memukul ruang dan waktu,
mengingatkanku tentang kamu yang dengan tingkah manja selalu memelukku,
mendekap dibalik dadaku, berusaha sembunyi dari suara Guntur.
Setelah dia yang lebih mapan hadir
dalam hari-harimu. Aku hanyalah kebencian bagimu. Membenciku karena kekurangan
dan lemahnya kondisi diriku.
Aku ingat semuanya. Bahkan luka
yang kau goreskan tanpa rasa simpati. Mungkin kau pun masih ingat dikala kita
bercinta di tengah hutan pinus, kau pernah berjanji takan pernah
meninggalkanku. Katamu meninggalkan diriku sama halnya dengan mati.
Semua itu, kini menjelma menjadi
mata pisau yang bersembunyi dibalik huruf yang kau ukir di ingatanku.
Mengingatnya, membuatku seakan menggali lubang kuburku.
Tapi sekarang, kau telah dibawah
pergi oleh dia, Sosok misterius yang ku benci. Bahkan ketika kau pergi, kau
bahkan tak menengokku sedikit pun Dan mungkin pula, aku hanyalah bahagiamu
sesaat.
Sore itu, Aku duduk menghadap layar
notebook yang menyala. Ku buka sebuah file dengan nama Tikai nako, sebuah file yang berisi foto. Ku lirik satu demi satu
foto-foto yang ada file itu. Kenangan demi kenangan yang pernah ku lalui
bersamanya kembali terlintas lagi di benak. Disana ada foto kemesraan ku
dengannya, ada pula foto-fotonya yang pernah ku ambil secara diam-diam ketika
dia terlelap dalam tidur dalam pelukku.
Mulai dari pondok hijau hingga
asia afrika, potret-potretnya masih tersimpan rapih dalam file itu. Ketika ku
melihatnya, hanya perih saja yang terasa. Entah mengapa, mengingatnya
menyakitiku.
Kemarin aku sempat bertemu dengan
paitua, Itulah sapaan kerap yang ku
dengar ketika teman-temanku memanggilnya. Sosok lelaki brewok dengan rambut
talingkarnya yang lebat. Nama aslinya sih sepo, dan memang bila di lihat dari
namanya maka mungkin orang mengiranya orang jawa, namun tidak demikian, dia
adalah lelaki tulen papua.
Paitua dan aku bertemu di sisi depan
sebuah rumah sakit yang bernama Advent, sebuah rumah sakit swasta milik Kristen
di tanah parayangan. Ketika itu, Paitua yang sedang duduk di sisi jalan sambil
mengisap rokok magnum favoritnya melihat kedatangaku dengan senyum menggodanya,
Lalu aku yang kebetulan pula baru sampai disana, ketika sebelumnya datang dari kos-kosan
milikku yang berada di area ledeng.
“ ko baru datang?” tutur paitua
tanpa melepaskan rokok yang terselip dibalik bibir.
“ io, sa bru datang ni ”, ucapku
malas-malasan.
“ kawan, ko macam trada gairah
hidupkah?”, sambil menggeser duduknya, dan
memberiku ruang untuk duduk.
“ adoh kawan, sa rasa sial ni.
Ko tau, sa kemarin cerita kalau dalam sa pu mimpi,
sa ada ketem deng mace satu
tuh. Tadi juga sa lihat dia dalam sa pu mimpi ”.
balasku.
“ bah, ko mustinya senang,
dari pada sa yang tra mimpi apa-apa, dan
walau mimpi jua tra ingat
apa-apa ”. balasnya dengan kesal.
“ io jua, ko betul. Sa jua
merasa senang. Sa harap jdi nyata”.
Banyak sekali asap
rokok yang ku keluarkan,
seakan ku keluarkan sebuah beban dalam tubuhku.
“ oh io, tong masuk saja
kedalam ”. ku tarik tangannya memasuki rumah sakit.
Di dalam rumah sakit, salah
seorang kawanku terbaring lemah karena sakit. Pertemuanku dengan paitua disisi
jalan depan rumah sakit itu pun bukanlah suatu kebetulan. Kami akhirnya
memasuki rumah sakit, setelah kami sampai di pojok rumah sakit, disana ada
sebuah tangga yang menghubungkan satu lantai dengan lantai lainnya. Kami pun
perlahan mulai menaiki tangga itu, hingga berhenti di lantai tiga. Ya, di
lantai inilah kawan kami di rawat. Akhirnya kami pun sampai pula di ruangan
dimana kawan kami itu terbaring lemah.
Setelah kami menjabat tangan,
basa-basi sekedarnya. Aku lansung duduk di bangku yang berada di pojok. ku
keluarkan notebook yang ku bawah dalam ransel, lalu ku ambil pula casnya,
kemudian aku cas notebook itu.
Lalu entah datang dari mana,
tiba-tiba saja aku teringat kembali dengan mimpi yang beberapa waktu ini
menggangguku. Di dalam mimpi itu, aku bertemu dengan seorang gadis dengan tubuh
agak padat dan pendek. Gadis itu punya bibir yang sangat menggoda, entalah, aku
seakan hendak menggigit bibir itu hingga putus. Di dalam mimpiku gadis itu
menikah denganku namun sayangnya, ketika malam pertama hadirlah gadis lain yang
datang membatalkan malam pertama kami. Kemudian di mimpi kedua, aku ternyata
sedang berpacaran dengan gadis itu, namun entah kenapa, kami berpacaran secara
diam-diam atau bisa di bilang secara sembunyi-sembunyi.
Dan itulah yang sampai kini
tak mampu ku tafsirkan. Mimpi itu memang sedikit mengobati luka yang pernah di
goreskan oleh gadis tanpa perasaan itu. Namun mimpi itu pula yang menguras
akalku. Kadang aku berpikir, akankah seorang gadis lain kelak akan hadir dan
membuatku tersenyum lagi ataukah itu hanyalah mimpi yang datang untuk
mengurangi rasa sakit. Entahlah, yang
penting ku yakin, mimpi itu akan jadi nyata, Tapi nanti ketika mahasiswa baru
datang. Ya tunggu bulan juli.
Jam di hp menunjukan
pukul sepuluh malam. Mengingat jam segitu, angkot Kelapa-Ledeng jarang ada. Ku
akhirnya mengajak paitua untuk pulang dahulu karena memang diriku hendak
singgah di taman wifi dekat kampus untuk sekedar online di media social. Kami
berdua akhirnya pamitan kepada kawan kami yang sakit serta kepada kawan-kawan
kami yang masih duduk menjaga kawin kami itu.
Sesampainya dilantai satu.
Ku ambil hp nokia lama yang setia bersamaku, ku tengok layarnya, ternyata
disana ada satu panggilan tak terjawab. Ku telpon balik, namun sayangnya
pulsaku tidak mencukupi. Ya memang aku lagi dalam keadaan kere, bahkan ongkos
tadi aku datang dari ledeng ke rumah sakit pun hasil pemberian adik perempuanku.
Setelah beberapa saat
kemudian, hpku pun berdering dan ternyata kekasihku itu menelponku. Bukan
kekasihku yang melukaiku itu, bukan dia, namun kekasihku yang datang dari
semarang. Dokter kebanggaanku, sosok penuh semangat yang kukenal dahulu semasa
SMP di moanemani, kabupaten dogiyai, Provinsi Papua. Persahabatan kami itu
terjalin sejak SMP hingga kini setelah masuk perguruan tinggi, memang hubungan
komunikasih kami tetap sangat baik hingga kini. Dia itulah yang menelponku.
Namanya siska dan siska memang kini sedang liburan di Bandung.
Seperti biasa,
percakapan demi percakapan, kami isi
dengan candaan. Kebetulan disaat itu ada seorang kawanku yang sering ku goda
duduk di bangku tunggu. Sambil terus tergelam dalam candaan dengan siska, ku
goda kawanku itu. Terus goda dirinya hingga kawanku itu, karena tak kuasa
menerima godaanku, akhirnya menutup matanya. Berpura-pura tidur.
Akhirnya, aku dan siska
janjian ketemu besok sebab besok pasti akan ada acara ngamen yang selalu
komunitas anak-anak Papua di Universitas Pendidikan Indonesia adakan di jalan
Asia-Afrika, depan gedung Merdeka. Kami janjian ketemu disana. Lalu beberapa
saat kemudian tanda pulsa habis pun bunyi, kemudian beberapa detik berikutnya
komunikasih kami pun putus yang berarti pulsa telah habis.
Setelah Percakapanku dengan
siska usai. Aku bersama paitua akhirnya melangkahkan kaki kami untuk pulang.
Setelah sampai di depan jalan raya, Ternyata sesuai dugaan kami, Angkot Kelapa-Ledeng
sudah tidak nampak lagi. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki.
Beberapa langkah kemudian,
sebuah motor mio berhenti tepat di depan kami. Setelah kami perhatikan
baik-baik, ternyata yang mengendrai motor mio itu adalah senior kami. Ya, itu
robi dan yang duduk dibelakangnya adalah naky, kekasih robi. Setelah mereka mendekat, kami akhirnya
berjabat tangan dan sapa-menyapa sekedarnya saja. usai bercakap-cakap, robi
member kami uang Sembilan ribu dan berpamitan kepada kami karena hendak singgah
dulu dirumah sakit untuk menengok kawan kami yang sakit itu.
Kami pun kembali berjalan
lagi. Hingga kami tepat tiba di sebuah perempatan. Disana, sebuah angkot
Cicaheum-Ledeng berhenti tepat di depan kami sehingga kami pun akhirnya naik
angkot itu. Kemudian angkot itu menurunkan kami di depan jalan masuk kampus.
Usai tiba di depan jalan
masuk kampus. Paitua yang kebetulan memegang uang pemberian robi tadi akhirnya
membayar ongkos angkot sebesar enam ribu. Sedangkan tiga ribu sisanya, kawanku
itu membeli rokok magnum favoritnya di pedagang kaki lima yang berdagang diarea
trotoar depan kampus. Setelah membeli rokok, aku dan paitua akhirnya masuk ke
dalam area kampus menuju taman wifi.
Setelah tiba di taman wifi,
ku keluarkan notebookku, kemudian tenggelam dalam dunia media social.
Berinteraksi dengan orang-orang yang sedang aktif dan sesekali melirik uniknya
status yang dibuat oleh orang-orang yang berinteraksi dalam dunia maya itu. Hingga
tak ku sadari jam sudah menunjukan pukul tiga pagi. Tepat pukul tiga pagi,
paitua berpamitan pulang duluan. Sedangkan aku masih duduk menikmati lautan
kata yang ada didalam dunia maya.
Jam akhirnya menunjukan pukul
empat pagi dan mataku pun sudah sangat berat untuk kuajak mengarungi lautan
kata di media social sehingga aku pun mematikan notebookku itu dan akhirnya ku
isi dalam ransel. Aku pun akhirnya pulang ke kos-kosan dimana aku tinggal.
Kejadian kemarin itu terlintas
dibenakku ketika foto demi foto berganti dilayar notebookku. Bahkan pertemuanku
dengan paitua sampai berpisahnya kami ditaman wifi, ku ingat dengan sangat jelas sekali. Setelah
tadi pagi sekitar jam lima subuh ku tutup mataku karena sangat lelah mengarungi
dunia maya. Aku akhirnya terbangun pukul dua siang.
Sebuah lagu yang beberapa
hari ini ku putar terdengar perih ditelingaku. Judul lagu itu adalah Ado Sio, sebuah lagu yang dinyanyikan
oleh aditya shandy. Lagu hip-hop Papua. Memang sebenarnya lagu hip-hop begitu
tak kusukai, namun entah kenapa lagu itu sudah beberapa hari telah ku putar
berulang-ulang. Mungkin lirik lagunya yang sedikit menggambarkan perasaan
hatiku yang beberapa waktu ini lagi dilema.
Sejujurnya, aku tidak dapat
membohongi perasaanku. Aku merindukan sosok manjanya, bahkan aku ingin selalu
didekatnya, namun entah kenapa dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi bersama
dengan sosok yang mungkin menurutnya lebih dewasa dan mapan. Aku sempat pula
berpikir bahwa mungkin aku hanyalah bahagianya sesaat dan kini manisnya
senyuman miliknya pun telah dimiliki orang lain.
Aku paham bahwa aku memang
tidak memiliki apapun, bahkan aku memang tak memiliki motor. Motor yang bisa
membawanya berkeliling dunia impiannya. Lalu aku pun memang tak bekerja, dan
aku pun sadar bahwa aku takan pernah bisa menafkahinya.
Semua itu memenuhi setiap
saraf di dalam otakku. Membuat diriku tenggelam dalam lautan sesal. Tapi tiba-tiba aku teringat bahwa aku sempat
berjanji kepada siska untuk bertemu di Asia-Afrika hari ini. Ku tengok jam
dilayar notebookku dan ternya jam menunjukan pukul empat lewat lima puluh lima
menit. Mengetahui itu, aku bangun berdiri, mengambil peralatan mandi dan menuju
kamar. Pokoknya ku buang dulu semua tentang luka. Saatnya bahagia dengan apa
yang kumiliki, ucapku dalam batin.
***
Oleh : Emanuel
Bamulki
Bandung,
23/02/2019