Sabtu, 23 Februari 2019

Cerpen : Ado Sio




   Semalam dingin mengusik tidurku, bahkan tetesan hujan terdengar seperti langkah kaki. Sejak kau pergi dengan angkuh meninggalkan harapan yang kau tumbuhkan dalam lubuk hatiku. Aku bagaikan sebuah perahu tanpa awak, terombang-ambing di amuk badai. Gemuruh Guntur dan halilintar yang terdengar memukul ruang dan waktu, mengingatkanku tentang kamu yang dengan tingkah manja selalu memelukku, mendekap dibalik dadaku, berusaha sembunyi dari suara Guntur.

            Setelah dia yang lebih mapan hadir dalam hari-harimu. Aku hanyalah kebencian bagimu. Membenciku karena kekurangan dan lemahnya kondisi diriku.

            Aku ingat semuanya. Bahkan luka yang kau goreskan tanpa rasa simpati. Mungkin kau pun masih ingat dikala kita bercinta di tengah hutan pinus, kau pernah berjanji takan pernah meninggalkanku. Katamu meninggalkan diriku sama halnya dengan mati.

            Semua itu, kini menjelma menjadi mata pisau yang bersembunyi dibalik huruf yang kau ukir di ingatanku. Mengingatnya, membuatku seakan menggali lubang kuburku.

            Tapi sekarang, kau telah dibawah pergi oleh dia, Sosok misterius yang ku benci. Bahkan ketika kau pergi, kau bahkan tak menengokku sedikit pun Dan mungkin pula, aku hanyalah bahagiamu sesaat.

              

              Sore itu, Aku duduk menghadap layar notebook yang menyala. Ku buka sebuah file dengan nama Tikai nako, sebuah file yang berisi foto. Ku lirik satu demi satu foto-foto yang ada file itu. Kenangan demi kenangan yang pernah ku lalui bersamanya kembali terlintas lagi di benak. Disana ada foto kemesraan ku dengannya, ada pula foto-fotonya yang pernah ku ambil secara diam-diam ketika dia terlelap dalam tidur dalam pelukku.

               Mulai dari pondok hijau hingga asia afrika, potret-potretnya masih tersimpan rapih dalam file itu. Ketika ku melihatnya, hanya perih saja yang terasa. Entah mengapa, mengingatnya menyakitiku.

              Kemarin aku sempat bertemu dengan paitua, Itulah sapaan kerap yang  ku dengar ketika teman-temanku memanggilnya. Sosok lelaki brewok dengan rambut talingkarnya yang lebat. Nama aslinya sih sepo, dan memang bila di lihat dari namanya maka mungkin orang mengiranya orang jawa, namun tidak demikian, dia adalah lelaki tulen papua.

            Paitua dan aku bertemu di sisi depan sebuah rumah sakit yang bernama Advent, sebuah rumah sakit swasta milik Kristen di tanah parayangan. Ketika itu, Paitua yang sedang duduk di sisi jalan sambil mengisap rokok magnum favoritnya melihat kedatangaku dengan senyum menggodanya, Lalu aku yang kebetulan pula baru sampai disana,  ketika sebelumnya datang dari kos-kosan milikku yang berada di area ledeng.

               “ ko baru datang?” tutur paitua tanpa melepaskan rokok yang terselip dibalik bibir.

               “ io, sa bru datang ni ”, ucapku malas-malasan.

               “ kawan, ko macam trada gairah hidupkah?”, sambil menggeser duduknya, dan

                   memberiku ruang untuk duduk.



                “ adoh kawan, sa rasa sial ni. Ko tau, sa kemarin cerita kalau dalam sa pu mimpi,

                    sa ada ketem deng mace satu tuh. Tadi juga sa lihat dia dalam sa pu mimpi ”.

                     balasku.



                 “ bah, ko mustinya senang, dari pada sa yang tra mimpi apa-apa, dan

                     walau mimpi jua tra ingat apa-apa ”. balasnya dengan kesal.

                   

                  “ io jua, ko betul. Sa jua merasa senang. Sa harap jdi nyata”.  Banyak sekali asap

                       rokok yang ku keluarkan, seakan ku keluarkan sebuah beban dalam tubuhku.

                   “ oh io, tong masuk saja kedalam ”. ku tarik tangannya memasuki rumah sakit.



             Di dalam rumah sakit, salah seorang kawanku terbaring lemah karena sakit. Pertemuanku dengan paitua disisi jalan depan rumah sakit itu pun bukanlah suatu kebetulan. Kami akhirnya memasuki rumah sakit, setelah kami sampai di pojok rumah sakit, disana ada sebuah tangga yang menghubungkan satu lantai dengan lantai lainnya. Kami pun perlahan mulai menaiki tangga itu, hingga berhenti di lantai tiga. Ya, di lantai inilah kawan kami di rawat. Akhirnya kami pun sampai pula di ruangan dimana kawan kami itu terbaring lemah.

               Setelah kami menjabat tangan, basa-basi sekedarnya. Aku lansung duduk di bangku yang berada di pojok. ku keluarkan notebook yang ku bawah dalam ransel, lalu ku ambil pula casnya, kemudian aku cas notebook itu.

                Lalu entah datang dari mana, tiba-tiba saja aku teringat kembali dengan mimpi yang beberapa waktu ini menggangguku. Di dalam mimpi itu, aku bertemu dengan seorang gadis dengan tubuh agak padat dan pendek. Gadis itu punya bibir yang sangat menggoda, entalah, aku seakan hendak menggigit bibir itu hingga putus. Di dalam mimpiku gadis itu menikah denganku namun sayangnya, ketika malam pertama hadirlah gadis lain yang datang membatalkan malam pertama kami. Kemudian di mimpi kedua, aku ternyata sedang berpacaran dengan gadis itu, namun entah kenapa, kami berpacaran secara diam-diam atau bisa di bilang secara sembunyi-sembunyi.

                   Dan itulah yang sampai kini tak mampu ku tafsirkan. Mimpi itu memang sedikit mengobati luka yang pernah di goreskan oleh gadis tanpa perasaan itu. Namun mimpi itu pula yang menguras akalku. Kadang aku berpikir, akankah seorang gadis lain kelak akan hadir dan membuatku tersenyum lagi ataukah itu hanyalah mimpi yang datang untuk mengurangi  rasa sakit. Entahlah, yang penting ku yakin, mimpi itu akan jadi nyata, Tapi nanti ketika mahasiswa baru datang. Ya tunggu bulan juli.

                      Jam di hp menunjukan pukul sepuluh malam. Mengingat jam segitu, angkot Kelapa-Ledeng jarang ada. Ku akhirnya mengajak paitua untuk pulang dahulu karena memang diriku hendak singgah di taman wifi dekat kampus untuk sekedar online di media social. Kami berdua akhirnya pamitan kepada kawan kami yang sakit serta kepada kawan-kawan kami yang masih duduk menjaga kawin kami itu.

                     Sesampainya dilantai satu. Ku ambil hp nokia lama yang setia bersamaku, ku tengok layarnya, ternyata disana ada satu panggilan tak terjawab. Ku telpon balik, namun sayangnya pulsaku tidak mencukupi. Ya memang aku lagi dalam keadaan kere, bahkan ongkos tadi aku datang dari ledeng ke rumah sakit pun hasil pemberian adik perempuanku.

                 Setelah beberapa saat kemudian, hpku pun berdering dan ternyata kekasihku itu menelponku. Bukan kekasihku yang melukaiku itu, bukan dia, namun kekasihku yang datang dari semarang. Dokter kebanggaanku, sosok penuh semangat yang kukenal dahulu semasa SMP di moanemani, kabupaten dogiyai, Provinsi Papua. Persahabatan kami itu terjalin sejak SMP hingga kini setelah masuk perguruan tinggi, memang hubungan komunikasih kami tetap sangat baik hingga kini. Dia itulah yang menelponku. Namanya siska dan siska memang kini sedang liburan di Bandung.

                  Seperti biasa, percakapan  demi percakapan, kami isi dengan candaan. Kebetulan disaat itu ada seorang kawanku yang sering ku goda duduk di bangku tunggu. Sambil terus tergelam dalam candaan dengan siska, ku goda kawanku itu. Terus goda dirinya hingga kawanku itu, karena tak kuasa menerima godaanku, akhirnya menutup matanya. Berpura-pura tidur.

                  Akhirnya, aku dan siska janjian ketemu besok sebab besok pasti akan ada acara ngamen yang selalu komunitas anak-anak Papua di Universitas Pendidikan Indonesia adakan di jalan Asia-Afrika, depan gedung Merdeka. Kami janjian ketemu disana. Lalu beberapa saat kemudian tanda pulsa habis pun bunyi, kemudian beberapa detik berikutnya komunikasih kami pun putus yang berarti pulsa telah habis.

                  Setelah Percakapanku dengan siska usai. Aku bersama paitua akhirnya melangkahkan kaki kami untuk pulang. Setelah sampai di depan jalan raya, Ternyata sesuai dugaan kami, Angkot Kelapa-Ledeng sudah tidak nampak lagi. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki.

                    Beberapa langkah kemudian, sebuah motor mio berhenti tepat di depan kami. Setelah kami perhatikan baik-baik, ternyata yang mengendrai motor mio itu adalah senior kami. Ya, itu robi dan yang duduk dibelakangnya adalah naky, kekasih  robi. Setelah mereka mendekat, kami akhirnya berjabat tangan dan sapa-menyapa sekedarnya saja. usai bercakap-cakap, robi member kami uang Sembilan ribu dan berpamitan kepada kami karena hendak singgah dulu dirumah sakit untuk menengok kawan kami yang sakit itu.

                     Kami pun kembali berjalan lagi. Hingga kami tepat tiba di sebuah perempatan. Disana, sebuah angkot Cicaheum-Ledeng berhenti tepat di depan kami sehingga kami pun akhirnya naik angkot itu. Kemudian angkot itu menurunkan kami di depan jalan masuk kampus.

                  Usai tiba di depan jalan masuk kampus. Paitua yang kebetulan memegang uang pemberian robi tadi akhirnya membayar ongkos angkot sebesar enam ribu. Sedangkan tiga ribu sisanya, kawanku itu membeli rokok magnum favoritnya di pedagang kaki lima yang berdagang diarea trotoar depan kampus. Setelah membeli rokok, aku dan paitua akhirnya masuk ke dalam area kampus menuju taman wifi.

                   Setelah tiba di taman wifi, ku keluarkan notebookku, kemudian tenggelam dalam dunia media social. Berinteraksi dengan orang-orang yang sedang aktif dan sesekali melirik uniknya status yang dibuat oleh orang-orang yang berinteraksi dalam dunia maya itu. Hingga tak ku sadari jam sudah menunjukan pukul tiga pagi. Tepat pukul tiga pagi, paitua berpamitan pulang duluan. Sedangkan aku masih duduk menikmati lautan kata yang ada didalam dunia maya.

                 Jam akhirnya menunjukan pukul empat pagi dan mataku pun sudah sangat berat untuk kuajak mengarungi lautan kata di media social sehingga aku pun mematikan notebookku itu dan akhirnya ku isi dalam ransel. Aku pun akhirnya pulang ke kos-kosan dimana aku tinggal.

                    Kejadian kemarin itu terlintas dibenakku ketika foto demi foto berganti dilayar notebookku. Bahkan pertemuanku dengan paitua sampai berpisahnya kami ditaman wifi,  ku ingat dengan sangat jelas sekali. Setelah tadi pagi sekitar jam lima subuh ku tutup mataku karena sangat lelah mengarungi dunia maya. Aku akhirnya terbangun pukul dua siang.

                   Sebuah lagu yang beberapa hari ini ku putar terdengar perih ditelingaku. Judul lagu itu adalah Ado Sio, sebuah lagu yang dinyanyikan oleh aditya shandy. Lagu hip-hop Papua. Memang sebenarnya lagu hip-hop begitu tak kusukai, namun entah kenapa lagu itu sudah beberapa hari telah ku putar berulang-ulang. Mungkin lirik lagunya yang sedikit menggambarkan perasaan hatiku yang beberapa waktu ini lagi dilema.

                   Sejujurnya, aku tidak dapat membohongi perasaanku. Aku merindukan sosok manjanya, bahkan aku ingin selalu didekatnya, namun entah kenapa dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi bersama dengan sosok yang mungkin menurutnya lebih dewasa dan mapan. Aku sempat pula berpikir bahwa mungkin aku hanyalah bahagianya sesaat dan kini manisnya senyuman miliknya pun telah dimiliki orang lain.

                  Aku paham bahwa aku memang tidak memiliki apapun, bahkan aku memang tak memiliki motor. Motor yang bisa membawanya berkeliling dunia impiannya. Lalu aku pun memang tak bekerja, dan aku pun sadar bahwa aku takan pernah bisa menafkahinya.

                 Semua itu memenuhi setiap saraf di dalam otakku. Membuat diriku tenggelam dalam lautan sesal. Tapi  tiba-tiba aku teringat bahwa aku sempat berjanji kepada siska untuk bertemu di Asia-Afrika hari ini. Ku tengok jam dilayar notebookku dan ternya jam menunjukan pukul empat lewat lima puluh lima menit. Mengetahui itu, aku bangun berdiri, mengambil peralatan mandi dan menuju kamar. Pokoknya ku buang dulu semua tentang luka. Saatnya bahagia dengan apa yang kumiliki, ucapku dalam batin.



***



Oleh : Emanuel Bamulki

Bandung, 23/02/2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar